Anak merupakan amanah dari Allah yang harus dibina, dibimbing dan dididik agar senantiasa berjalan pada fitrah kebaikannya. Namun terkadang, anak menjadi sumber fitnah dan malapetaka bagi orang tua tatkala mereka menyimpang dari nasihat yang disampaikan. Sebagai orang tua, kita harus memiliki ilmu sebanyak-banyaknya untuk diwariskan kepada keturunan yang merupakan generasi penerus Islam.
Pertanyaannya, bagaimana cara kita mempersiapkan anak-anak untuk bertarung melawan dunia yang semakin keras ini? Baik itu persiapan mental, iman, keilmuan, maupun moral yang terus dipupuk dalam jiwanya sehingga tidak mudah larut dan terpengaruh dengan hirup pikuk fatamorgana dunia.
Kembali pada niat kita masing-masing tentang pentingnya mendidik anak saat usia dini, seringkali para orang tua mendidik anak-anaknya agar mampu membaca huruf abjad sejak dini tanpa mengenalkan siapa Rabbnya dan Nabi-Nya. Hal itu dilakukan sebagian orang tua demi mendapatkan sanjungan dan pujian dari orang lain, betapa hebatnya ia dalam mendidik anak-anak.
Jangan sampai kita melakukan hal yang sia-sia karena memperturutkan kebanggaan diri sendiri. Akan tetapi, didiklah anak agar berbuat kebaikan sebagai bekal di akhirat nanti.
Sebagian anak kaum Muslimin yang dididik orang tuanya mengenal pendidikan Islam sejak dini; dengan hafalan-hafalan al-Qur’an, belajar bahasa Arab, membaca kisah-kisah Nabi dan Rasul, dan mengisi masa kecilnya bersama teman-teman pergi shalat berjama’ah di masjid.
Akan tetapi, setelah tumbuh sebagai seorang remaja, sebagian mereka tidak pernah lagi membanggakan “Saya adalah seorang Muslim” yang rajin berjama’ah di masjid dan mengajarkan ilmu agama kepada generasi penerus. Parahnya lagi, sebagian mereka ada yang justru berkeliaran tiap malam tanpa kenal waktu atau berkomunikasi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.
Ternyata, semua itu buah dari hasil pembelajaran yang sebatas menyentuh otak saja. Pendidikannya tidak mampu menyelami jiwa anak, padahal pangkal dari sebuah perubahan berasal dari dalam jiwa yang terbimbing ke jalur yang benar. Oleh karena itu, tidak serta merta kita menyalahkan anak karena perbuatannya, namun lebih baik melakukan introspeksi pada apa yang telah kita tanamkan pada jiwa anak.
Ketika anak melakukan kesalahan, maka hukumlah dengan penuh kasih sayang. Sebaliknya, jika anak berbuat kebaikan, maka tidak menjadi beban bagi kita untuk memberikan hadiah atau kejutan yang dapat memotivasi anak menjadi shalih atau shalihah.
Ketika seorang anak melakukan kesalahan, hukumlah tanpa membuat hatinya terluka. Namun, sangat dianjurkan untuk mendahulukan 6 hal yang termasuk akhlak yang baik sebagai berikut:
- Kedepankan kasih sayang daripada kemarahan. Kemarahan itu terjadi pada awalnya, namun akhirnya muncul sebuah penyesalan.
- Bukan sebagai pelampiasan emosi karena perilaku mereka membuat kepala ‘pusing’. Tapi nasihatilah anak dengan tutur kata lembut yang merasuk ke dalam jiwanya.
- Harus berpikir jernih. Hindarkan pikiran negatif yang dapat menyebabkan perbuatan menyakitinya.
- Niatkan sebagai pendidikan yang terarah dengan baik dan benar, agar anak tumbuh dan berkembang menjadi shalih dan shalihah.
- Sebagai peringatan dan pengajaran; bahwa setiap perbuatan mempunyai konsekuensi masing-masing. Jika berbuat baik, maka akan mendapatkan hadiah dan berpahala. Namun jika berbuat menyimpang, maka mendapat hukuman.
- Boleh menghukum seperlunya, namun tidak boleh menyakiti hingga membekas dalam hati, apalagi meninggalkan luka di tubuhnya.
Selama kita mendidik dengan jiwa, maka akan nampak jelas hasil pendidikannya saat mereka beranjak dewasa. Seringkali orang tua mengatakan “Kamu nakal” kepada anak, namun kita melupakan “kenakalan” kita terhadap mereka.
Seringkali orang tua menuntut anak meminta maaf karena melakukan kesalahan, namun kita melupkan “kesalahan” yang telah diperbuat kepada mereka dan tak meminta maaf karena telah menyakiti mereka, baik disengaja maupun tidak.
Karena teladan yang utama bagi seorang anak di lingkungan terkecil adalah orang tua. Mereka mencontoh perilaku dan perkataan kita sejak usia dini. Maka, kita pun wajib introspeksi diri dan melakukan yang terbaik untuk masa depan anak agar berakhlak mulia.
Menyelami jiwa anak dengan akhlak harus dilakukan dengan perbuatan dan perkataan yang baik. Anak mudah mencerna dan menirukan yang dilihat dan didengar. Oleh karena itu, marilah mempersiapkan sejak dini dari yang terkecil dan mulai dari sendiri.
Arahkan anak untuk membedakan perbuatan baik dan buruk, sehingga mereka akan merekam dalam otaknya terkait dua hal yang berlawanan itu. Dengan begitu, kita telah menyiapkan generasi penerus yang tidak hanya ber-IQ tinggi, namun juga berakhlak mulia.
Karena yang paling dibutuhkan anak-anak adalah kehadiran orang tua sebagai teladan bagi mereka. Maka luangkan waktu untuk bersendau gurau, bercerita islami, bermain dan berekreasi. Pada saat-saat yang membahagiakan itu, kita dapat menyelipkan nasihat-nasihat dan pesan-pesan yang bermanfaat ke dalam jiwa-jiwa mereka untuk menghadapi dunia yang keras ini.
Didiklah anak dengan akhlak karimah menggapai jannah. Jauhkan amarah saat anak bertingkah, agar jiwa tak goyah. Waallahu A’lam. [Hamizan/Bersamadakwah]
Editor: Pirman Bahagia
0 komentar:
Posting Komentar